Aku sudah melangkah sejauh kaki tidak
dapat melangkah, sudah beribu kilometer jarak yang seharus tertapak
sementara aku hanya beberapa puluh langkah saja bahkan dengan terlelap
tanpa melihat ke depan.
Dihadapku berdiri tinggi
Mahameru yang menandakan seberapa tinggi harapanku ku bawa, disamping
ranu kumbolo yang tanpa ragu dan arcapada yang menandakan waktu
seharusnya ku tapak mengiringi perenungan seharusnya dan mengenal siapa
diri dan alam dalam harmoni manusia, alam dan Tuhan.
Secangkir susu sore ini adalah
kawan sejatiku yang mengiringi kamu diantara kalian yang terpendam dalam
dendam serta sedikit perjuanganku mengenal masa dan massa.
Jika aku mengharuskan dewasa,
maka aku takkan pernah tua tapi aku ditandai waktu dimana aku takkan
pernah bisa berada ditempat yang sama karena waktu adalah ruang yang aku
berada di dalamnya. Sementara kabut dalam ruangan yang ku sebut waktu
itu adalah penghujung tahun ini aku masih mendaki pandang pada kawah di
puncak mahameru yang perkasa.
Di antara batasan waktu ada kau
sebagai transisi tapi kau adalah hujan yang diam sehingga aku sendiri
harus mengarungi waktu dalam kesendirianku yang telah kupilih sebagai
aku bersama kerusakan cara pandangku.
Aku tidak akan membawa catatan
hari ini dan biar alam yang akan mencatatkan namaku pada jejak langkah
ku yang pernah tertapak diantara bebatuan rapuh jalur pendakianku untuk
mengerti, mengerti keseimbangan makna yang tak terlafalkan baik itu tinta yang berkorelasi dengan hidup ataupun hubungan gelap secangkir susu yang rasa estetika mata dan pandangan ataupun gagasan.
Revolusi adalah cara berpikir
yang berakar dari pandangan atau cara berpikir dan maka itu aku tak
membawa hidup keatas sana sehingga ketika pulang kelak aku menjadi
manusia yang mencintai alam dan sadar keberadaanku ada di tengah-tengah
teori penciptaan oleh Allah SWT.
Sadarkan aku dalam kebohonganku,
dan kata-kata yang terkalimatkan pada barisan buku-buku yang tak sempat
terbaca olehku. Bukan oleh ras ke-suku-an ku tapi perbedaan yang harus
aku jalani dalam perbedaan prinsip dan pandangan yang ter normakan dalam
pikiran manusia dan mulut yang selalu berujar resah dan keluhan.
Sudah habis pula susu siang ini,
dan saat mulai kuikatkan tali sepatu ini tandanya aku segera melangkah
menjauhi manusia dan dekat dengan kematian yang tak di undang namun tak
tahu kapan pula akan datang.
Debu vulkanik sudah tampak
seperti sebuah momok menakutkan dan angin melarang kami untuk tinggal
diam hingga aku meninggalkan hatiku dan melai melangkah menuju lautan
pasir dan bau belerang yang mulai tercium oleh inderaku.
Aku jatuh di ketinggian.
Aku bangkit dalam keheningan
dalam satu waktu yang aku belum pernah kunjungi padahal aku ingat
beberapa waktu lalu aku berdiri ditempat yang sama, sebuah pekuburan
tanpa nama dan kesadaran akan harga hidup yang harus kubayar setelah 17 tahun menginjak hidup.
Hari ini akan turun hujan.
Dibalik kecintaanku akan hujan
aku sudah berpikir ternyata lebih jauh dua hari saat aku berada di
puncak sana dengan gegap gempita kebebasan berekspresi dan bernyanyi,
namun aku tahu bukan tentang itu aku mencintai hujan dalam filosofi
kehidupan tanpa gentar dan mengusir takutku akan diriku sendiri. Sebuah
ego yang kujinjing untuk ku persembahakan sebagai pengorbanan pada kawah
berbau belerang di puncak sana.
Biarkan aku menjadi beragam hari ini.
Hingga aku kehilangan jejak
langkahku di napak tilasku beberapa tahun mendatang saat sudah kutemukan
hidup. Menepis semua kecemburuan aku pada aku dan bersenggama dengan
alam sampai titik saat aku tahu bahwa aku tidak pernah berada disana
namun ada di bawah sedang memandangi puncak yang seharusnya saat ini aku
sudah berada disana.